BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan
kesehatan merupakan bagian yang dapat dipisahkan dari pembangunan nasional.
Pembanguna kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang
optimal.
Pada
saat ini kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu 373 per 100.000 kelahiran
hidup. Bila dibandingkan dengan Negara di Asia lainnya seperti Filipina yaitu
210 per 100.000 kelahiran hidup dan Vietnam 160 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka
kematian ibu tertinggi di india dan Bangladesh 440 per 100.000 kelahiran hidup.
Tinggi
angka kematian hidup di Indonesia disebabkan oleh tiga factor utama yaitu,
perdarahan, infeksi, dan toxemia gravidarum. Salah satu dan ketiga factor
tersebut adalah perdarahan dan perdarahan dapat terjadi pada wanita dengan mola
hidatidosa. Dalam mencegah terjadi kematian pada wanita ( khususnya yang
mengalami perdarahan yang disebabkan karena mola hidatidosa).
Mola
hidatidosa adalah suatu penyakit trofloblas gestasional sebagai akibat dari
suatu kehamilan yang berkembang tidak sempurna. Kehamilan mola hidatidosa
terjadi pada ibu multipara dengan kondisi kesehatan status gizi yang kurang dan
lebih banyak di jumpai pada golongan sosio ekonomi rendah.
Di
Indonesia menurut laporan beberapa penulis dari berbagai daerah menunjukan
angka kejadian mola hidatidosa di Indonesia sekitar 1 : 51 sampai 1 : 141
kehamilan. Sedangkan di Negara barat angka kejadian ini lebih rendah di dari
pada Negara-negara Asia dan amerika
latin. Misalnya, Amerika Serikat 1 : 1.450 kehamilan (hertig dan Sheldon, 1978)
dan di Inggris 1 : 1500 kehamilan ( Womack dan elston, 1985 )
Mengingat
semakin meningkatnya angka kejadian mola hidatidosa, maka perlu perawatan
intensif dan tindakan pelayanan yang komprehensif melalui proses keperawatan
serta melibatkan banyak sector. Pemerintah melakukan upaya diantaranya deteksi
dini pada wanita serta pelayanan rujukan
yang terjangkau.
Diharapkan
dengan upaya tersebut , angka kematian ibu dapat ditekan menjadi 225 per
100.000 kelahiran hidup. Dan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan perlu ditingkatkan
mutunya.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Memberikan
asuhan keperawatan yang tepat kepada Ny. S yang mengalami kasus Mola
hidatidosa.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian kepada Ny.S terkait
dengan kasus yang dialaminya
b. Menegakkan
diagnosa yang tepat dari hasil analisa data yang dilakukan saat pengkajian.
c. Memberikan
intervensi yang lengkap kepada Ny.S untuk mengatasi masalah yang sedang
dialaminya.
d. Memberikan
pengetahuan berupa pendidikan kesehatan kepada Ny. S dalam mendeteksi
gejala-gejala patologis saat sedang mengandung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
TinjauanTeori
1. Defenisi
Mola hidatidosa ialah kehamilan abnormal,
dengan ciri-ciri stroma vilus korialis langka vaskularisasi, dan edematus.
Janin biasanya meninggal, akan tetapi vilus-vilus yang membesar dan edematus
itu hidup dan tumbuh terus; gambaran yang diberikan ialah sebagai sebuah gugus
anggur. Jaringan tropoblast pada vilus kadang-kadang berprofilerasi ringan dan
kadang-kadang keras, dan mengeluarkan hormon, yakni human chorionic gonadotropin
(hCG) dalam jumlah
yang lebih besar daripada kehamilan biasa (Prawirohardjo & Wikjosastro,
2005).
Mola hidatidosa adalah kehamilan
abnormal dimana
hampir seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidrofik(Mansjoer, 2005).
Mola hidatidosa merupakan salah
satu dari tiga jenis neoplasma trofoblastik gestasional(Bobak dkk, 2005).
2.
Etiologi
Menurut Prof. Rustam Moechtar dalam
bukunya Sinopsis Obstetri, penyebab mola hidatidosa belum diketahui secara
pasti. Faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab adalah:
a.
Faktor ovum
Spermatozoon
memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua serum memasuki ovum
tersebut sehingga akan terjadi kelainan atau gangguan dalam pembuahan.
b.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah
Dalam masa
kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin, dengan keadaan sosial
ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan tubuh
kurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan
janinnya.
c.
Paritas tinggi
Ibu
multipara cenderung beresiko terjadi kehamilan mola hidatidosa karena trauma
kelahiran atau penyimpangan tranmisi secara genetik yang dapat
diidentifikasikan dan penggunaan stimulan drulasi seperti klomifen atau
menotropiris (pergonal).
d.
Kekurangan protein
Protein
adalah zat untuk membangun jaringan-jaringan bagian tubuh sehubungan dengan
pertumbuhan janin, pertumbuhan rahim, dan buah dada ibu, keperluan akan zat
protein pada waktu hamil sangat meningkat apabila kekurangan protein dalam
makanan mengakibatkan bayi akan lahir lebih kecil dari normal.
e.
Infeksi virus
Infeksi
mikroba dapat mengenai semua orang termasuk wanita hamil. Masuk atau adanya
mikroba dalam tubuh manusia tidak selalu akan menimbulkan penyakit (desease).
Hal ini sangat tergantung dari jumlah mikroba (kuman atau virus) yang masuk
virulensinya serta daya tahan tubuh.
3.
Patofisiologi
Menurut Cunningham dalam buku Obstetri, dalam stadium pertumbuhan molla
yang dini terdapat beberapa ciri khas yang membedakan dengan kehamilan normal,
namun pada stadium lanjut trimester pertama dan selama trimester kedua sering
terlihat perubahan sebagai berikut:
a.
Perdarahan
Perdarahan
uterus merupakan gejala yang mencolok dan bervariasi mulai dari spoting sampai
perdarahan yang banyak. Perdarahan ini dapat dimulai sesaat sebelum abortus
atau yang lebih sering lagi timbul secara intermiten selama berminggu-minggu
atau setiap bulan. Sebagai akibat perdarahan tersebut gejala anemia ringan
sering dijumpai. Anemia defisiensi besi merupakan gejala yang sering dijumpai.
b.
Ukuran uterus
Uterus yang
lebih sering tumbuh lebih besar dari usia kehamilan yang sebenarnya. Mungkin
uterus lewat palpasi sulit dikenali dengan tepat pada wanita nullipara, khusus
karena konsistensi tumor yang lunak di bawah abdomen yang kenyal. Ovarium
kemungkinan mempunyai konsistensi yang lebih lunak.
c.
Aktivitas janin
Meskipun
uterus cukup membesar mencapai bagian atas sympisis, secara khas tidak akan
ditemukan aktivitas janin, sekalipun dilakukan test dengan alat yang sensitive
sekalipun. Kadang-kadang terdapat plasenta kembar pada kehamilan mola
hidatidosa komplit. Pada salah satu plasentanya sementara plasenta yang lainnya
dan janinnya sendiri terlihat normal. Demikian pula sangat jarang ditemukan
perubahan mola inkomplit yang luas pada plasenta dengan disertai dengan janin
yang hidup.
d.
Embolisasi
Trofoblas
dengan jumlah yang bervariasi dengan atau tanpa stroma villus dapat keluar dari
dalam uterus dan masuk ke dalam aliran darah vena. Jumlah tersebut dapat
sedemikian banyak sehingga menimbulkan gejala serta tanda emboli pulmoner akut
bahkan kematian. Keadaan fatal ini jarang terjadi. Meskipun jumlah trofoblas
dengan atau tanpa stroma villus yang menimbulkan embolisasi ke dalam paru-paru
terlalu kecil untuk menghasilkan penyumbatan pembuluh darah pulmoner namun
lebih lanjut trofoblas ini dapat menginfasi parenkim paru. Sehingga terjadi
metastase yang terbukti lewat pemeriksaan radiografi. Lesi tersebut dapat terdiri
dari trofoblas saja (corio carsinoma metastasik) atau trofoblas dengan stroma
villus (mola hidatidosa metastasik). Perjalanan selanjutnya lesi tersebut bisa
diramalkan dan sebagian terlihat menghilang spontan yang dapat terjadi segera
setelah evakuasi atau bahkan beberapa minggu atau bulan kemudian. Sementara
sebagian lainnya mengalami proloferasi dan menimbulkan kematian wanita tersebut
bila tidak mendapatkan pengobatan yang efektif.
e.
Disfungsi thyroid
Kadar
tiroksi plasma pada wanita dengan kehamilan mola biasanya mengalami kenaikan
yang cukup tinggi, namun gambaran hipertiroidisme yang tampak secara klinik
tidak begitu sering dijumpai. Amir dkk (1984) dan Curry dkk (1975) menemukan
hipertiroidisme pada sekitar 2% kasus kenaikan kadar tiroksin plasma, bisa
merupakan efek primer estrogen seperti halnya pada kehamilan normal dimana
tidak terjadi peningkatan kadar estrogen bebas dan presentasi trioditironim
yang terikat oleh resin mengalami peningkatan. Apakah hormon tiroksin bebas
dapat meninggi akibat efek mirip tirotropin yang ditimbulkan oleh orionik
gonadotropin atau apakah varian hormon inikah yang menimbulkan semua efek
tersebut masih merupakan masalah yang controversial (Amir, dkk, 1984, Man dkk,
1986).
f.
Ekspulsi spontan
Kadang-kadang
gelembung-gelembung hidatidosa sudah keluar sebelum mola tersebut keluar
spontan atau dikosongkan dari dalam uterus lewat tindakan. Ekspulsi spontan
paling besar kemungkinannya
pada
kehamilan sekitar 16 minggu. Dan jarang lebih dari 28 minggu.
4.
Manifestasi klinis
a.
Amenore dan tanda-tanda kehamilan. Pada
tahap awal tanda dan gejala tahap kehamilan mola tidak dapat dibedakan dari
tanda dan gejala kehamilan normal.
b.
Pada waktu selanjutnya pendarahan
pervaginam pada hampir di temukan di semua kasus dan terjadi secara berulang.
Cairan yang keluar dari vagina bisa berwarna coklat tua atau merah terang, bisa
sedikit atau banyak. Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola. Keadaan
ini bisa berlangsung beberapa hari saja atau secara intermitten selama beberapa
minggu.
c.
Perbesaran uterus lebih besar dari usia
kehamilan.
d.
Tidak terabanya bagian janin pada
palpasi dan tidak terdengar DJJ sekalipun uterus sudah membesar setinggi pusar
atau lebih.
e.
Pre-eklampsia atau eklampsia yang terjadi
sebelum kehamilan 24 minggu.
f.
Anemia akibat kehilangan darah, rasa
mual dan muntah yang
berebihan(hiperemesisgravidarum), dan kram perut yang disebabkan dispensi
rahim.
g.
Kadar β-hCG yang tinggi.
5.
Tanda dan Gejala
Tanda dan
gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan biasanya
terjadi pada minggu ke 14-16 dimana ukuran rahim lebih besar dari kehamilan
biasa, pembesaran rahim yang terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna
merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam. Tanda
dan gejala serta komplikasi mola hidatidosa:
a.
Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien
masuk RS.
b.
Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia
kehamilan (lebih besar).
c.
Gejala–gejala hipertitoidisme seperti intoleransi
panas, gugup, penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan
berkeringat, kulit lembab.
d.
Gejala – gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada
kaki dan tungkai, peningkatan tekanan darah, proteinuria (terdapat protein pada
air seni).
6.
Klasifikasi Mola hidatidosa
Mola
hidatidosa terbagi menjadi:
a.
Mola hidatidosa komplet atau klasik
Mola komplet
atau klasik terjadi akibat fertilsasi sebuah telur yang intinya telah hilang
atau tidak aktif. Mola menyerupai setangkai buah anggur putih. Vesikel-vesikel
hidrofik (berisi cairan) tumbuh dengan cepat, menyebabkan rahim menjadi lebih
besar dari uisa kehamilan seharusnya. Biasanya Mola tidak mengandung janin,
plasenta, membran amniotik atau air ketuban. Darah maternal tidak memiliki
plasenta oleh karena itu, terjadi perdarahan ke dalam rongga rahim dan timbul
perdarahan melalui vagina. Pada sekitar 3 % kehamilan, Mola ini berkembang
menjadi koriokarsinoma (suatu neoplasma ganas yang tumbuh dengan cepat).
Potensi untuk menjadi ganas pada kehamilan Mola sebagian jauh lebih kecil
dibanding kehamilan Mola komplek (Bobak dkk, 2005).
·
WOC Molahidatidosakomplit
Selteluryangtidakadakromosom
dibuahi
1 atau 2 selsperma
diploid
( hanya paternal )
embriotidakterbentuk
proliferasivilikorealis
vilimengandungbanyakcairan
sel2
tropoblas yang patologisberkembangdanmembengkak
gelembung2
berisicairan yang berbentukanggur
molahidatidosakomplit
b.
Mola hidatidosa inkomplet atau parsia
Mola inkomplet
atau parsia terjadi jika disertai janin atau bagian janin (Bobak dkk,2005).
Degenerasihidropikdarivilibersifatsetempat,
dan yang mengalami hiperplasi hanya sinsitio trofoblas saja.Gambaran yang khas
adalah crinkling atau scalloping dari vili dan stromal trophoblastic inclusions.
·
WOC Mola hidatidosaparsial
Seltelur
normal
dibuahi
1 selsperma diploid atau 2 selsperma haploid
kariotipe
69XXX, 69XXY (triploid )
Hidrofikvili
hiperplasia
sel-sel
tropoblas
molahidatidosaparsial.
7.
Komplikasi
Menurut
Mansjoer dkk (2005) komplikasi yang dapat terjadi padapenderita Mola hidatidosa
adalah :
a.
Anemia
b.
Syok
c.
Infeksi
d.
Eklampsia
e.
Tirotoksikosis
8.
Pemeriksaan Diagnostik
Menurut
Mansjoer dkk (2005) pemeriksaan diagnostik pada Mola hidatidosa antara lain:
a.
Anamnesis diantaranya :
1)
Perdarahan pervaginam/gambaran Mola,
2)
Gejala toksemia pada trimester I-II,
3)
Hiperemesis gravidarum,
4)
Gejala tirotoksikosis,
5)
Gejala emboli paru.
b.
Pemeriksaan fisik diantaranya:
1)
Uterus lebih besar dari usia kehamilan,
2)
Kista lutein,
3)
Balotemen negatif,
4)
Denyut jantung janin negatif.
c.
Pemeriksaan penunjang diantaranya :
1)
Pada tes Acosta Sison dapat dikeluarkan
jaringan Mola,
2)
Pada tes Hanifa Sonde dapat masuk tanpa
tahanan dan diputar 3600 dengan deviasi sonde kurang dari 100,
3)
Peningkatan kadar beta Hcg darah atau urin,
4)
Ultrasonografi menunjukkan gambaran
badai salju (snow flake pattern),
5)
Foto toraks pada gambaran emboli udara,
6)
Pemeriksaan T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis.
9.
PenatalaksanaanMedis
Penanganan
yang biasa dilakukan pada Mola hidatidosa adalah:
a.
Diagnosis dini akan menguntungkan prognosis.
b.
Pemeriksaan USG sangat membantu diagnosis. Pada
fasilitas kesehatan di mana sumber daya sangat terbatas, dapat dilakukan :
Evaluasi klinik dengan fokus pada : Riwayat haid terakhir dan kehamilan
Perdarahan tidak teratur atau spotting, pembesaran abnormal uterus, pelunakan
serviks dan korpus uteri. Kajian uji kehamilan dengan pengenceran urin.
Pastikan tidak ada janin (Ballottement) atau DJJ sebelum upaya diagnosis dengan
perasat Hanifa Wiknjosastro atau Acosta Sisson.
c.
Lakukan pengosongan jaringan mola dengan segera.
d.
Antisipasi komplikasi (krisis tiroid, perdarahan hebat
atau perforasi uterus).
e.
Lakukan pengamatan lanjut hingga minimal 1 tahun.
Selain dari penanganan di atas, masih terdapat beberapa penanganan khusus yang
dilakukan pada pasien dengan mola hidatidosa, yaitu : Segera lakukan evakuasi
jaringan mola dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU
oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes per menit
(sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi
terhadap pengosongan uterus secara tepat). Pengosongan dengan Aspirasi Vakum
lebih aman dari kuretase tajam. Bila sumber vakum adalah tabung manual, siapkan
peralatan AVM minimal 3 set agar dapat digunakan secara bergantian hingga
pengosongan kavum uteri selesai. Kenali dan tangani komplikasi seperti
tirotoksikasi atau krisis tiroid baik sebelum, selama dan setelah prosedur
evakuasi. Anemia sedang cukup diberikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari, untuk
anemia berat lakukan transfusi. Kadar hCG diatas 100.000 IU/L praevakuasi
menunjukkan masih terdapat trofoblast aktif (diluar uterus atau invasif),
berikan kemoterapi MTX dan pantau beta-hCG serta besar uterus secara klinis dan
USG tiap 2 minggu. Selama pemantauan, pasien dianjurkan untuk menggunakan
kontrasepsi hormonal (apabila masih ingin anak) atau tubektomy apabila ingin
menghentikan fertilisasi.
10.
Prognosis
Resiko
kematian/kesakitan pada penderita mola hidatidosa meningkat karena perdarahan,
perforasi uterus, pre-eklamsi
berat, tirotoksikosis atau infeksi. Akan tetapi, sekarang kematian karena mola
hidatidosa sudah jarang sekali. Segera setelah jaringan mola dikeluarkan,
uterus akan mengecil, kadar hCG menurun dan akan mencapai kadar normal sekitar
10-12 minggu pascaevakuasi. Kista lutein juga akan mengecil lagi. Pada beberapa
kasus pengecilan ini bisa mengambil waktu beberapa bulan.
Sebagian besar
penderita mola hidatidosa akan baik kembali setelah kuretasi. Bila hamil lagi,
umumnya berjalan normal. Mola hidatidosa berulang dapat terjadi, tetapi jarang.
Walaupun demikian, 15-20% dari penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami
degenerasi keganasan menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG), baik berupa
mola invasif, koriokarsinoma, maupun placental site trophoblastic tumor (PSTT).
Keganasan ini
biasanya terjadi pada satu tahun pertama pascaevakuasi,yang terbanyak enam
bulan pertama. MHP lebih jarang menjadi ganas. Faktor risiko terjadinya TTG pascamola
hidatidosa adalah umur 35 tahun, uterus diatas 20 minggu, kadar hCG preevakuasi
diatas 100.000 IU/L, dan kista lutein bilateral.
11.
AsuhanKeperawatanMola
Hidatidosa
a.
Pengkajian
Pengkajian
adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya
sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan bagi klien.
Adapun
hal-hal yang perlu dikaji adalah :
1)
Biodata: mengkaji identitas klien dan penanggung yang
meliputi; nama, umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan alamat.
2)
Keluhan utama: kaji adanya
menstruasi tidak lancar dan adanya perdarahan pervaginam berulang.
3)
Riwayat kesehatan, yang terdiri atas:
·
Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat
klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti perdarahan
pervaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia
kehamilan.
·
Riwayat kesehatan masa lalu: kaji adanya kehamilan molahidatidosa sebelumnya, apa tindakan yang
dilakukan, kondisi klien pada saat itu.
·
Riwayat pembedahan : Kaji adanya pembedahan yang
pernah dialami oleh klien, jenis pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana
tindakan tersebut berlangsung.
4)
Riwayat penyakit yang pernah dialami: kaji adanya
penyakit yang pernah dialami oleh klien misalnya DM, jantung, hipertensi,
masalah ginekologi/urinary, penyakit endokrin, dan penyakit-penyakit lainnya.
5)
Riwayat kesehatan keluarga: yang dapat
dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat diidentifikasi
mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.
6)
Riwayat kesehatan reproduksi: kaji tentang
menorhoe, siklus menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan
adanya dismenorhoe serta kaji kapan menopause terjadi, gejala serta keluhan
yang menyertainya.
7)
Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas: kaji
bagaimana keadaan anak klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini,
bagaimana keadaan kesehatan anaknya.
8)
Riwayat seksual: kaji mengenai
aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang digunakan serta keluhan yang
menyertainya.
9)
Riwayat pemakaian obat: kaji riwayat
pemakaian obat-obatankontrasepsi oral, obat digitalis dan jenis obat lainnya.
10)
Pola aktivitas sehari-hari: kaji mengenai
nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur,
hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.
b.
Pemeriksaan Fisik:
1)
Inspeksi
Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas pada penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas pada penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
Hal yang diinspeksi antara lain :
·
Mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna,
laserasi, lesi terhadap drainase,
·
Pola
pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan,
·
Bahasa tubuh,
pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya keterbatasan fifik, dan
seterusnya.
2)
Palpasi
Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.
Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.
·
Sentuhan: merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu,
derajat kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.
·
Tekanan: menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema,
memperhatikan posisi janin atau mencubit kulit untuk mengamati turgor.
·
Pemeriksaan dalam: menentukan tegangan/tonus otot atau
respon nyeri yang abnormal.
3)
Perkusi
Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada permukaan tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau jaringan yang ada dibawahnya.
Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada permukaan tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau jaringan yang ada dibawahnya.
·
Menggunakan jari: ketuk lutut dan dada dan dengarkan
bunyi yang menunjukkan ada tidaknya cairan , massa atau konsolidasi.
·
Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada
tidaknya refleks/gerakan pada kaki bawah, memeriksa refleks kulit perut apakah
ada kontraksi dinding perut atau tidak.
4)
Auskultasi
Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan stetoskop dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang terdengar.
Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan stetoskop dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang terdengar.
Mendengar: mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan darah, dada untuk
bunyi jantung/paru abdomen untuk bising usus atau denyut jantung janin(Johnson
& Taylor, 2005 : 39).
c.
Diagnosa Keperawatan
1)
Nyeri berhubungan
denganterputusnyakontinuitasjaringan.
2)
Intoleransi aktivitasberhubungandengankelemahan.
3)
Gangguan pola tidur berhubungandenganadanyanyeri.
4)
Gangguan rasa nyaman: hipertermi berhubungandengan
proses infeksi.
5)
Kecemasan berhubungan denganperubahan status kesehatan.
d.
Intervensi
1)
Diagnosa I: Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan
Tujuan : Klien akanmeninjukkannyeriberkurang/hilang.
Tujuan : Klien akanmeninjukkannyeriberkurang/hilang.
Kriteria hasil :
·
Klien mengatakan nyeri berkurang/hilang,
·
Ekspresi wajah tenang,
·
TTV dalam batas normal.
Intervensi:
·
Kaji tingkat nyeri, lokasi dan skala nyeri yang
dirasakan klien.
Rasional: mengetahui tingkat nyeri yang
dirasakan sehingga dapat membantu menentukan intervensi yang tepat.
·
Observasi tanda-tanda vital tiap 8 jam.
Rasional: perubahan tanda-tanda vital terutama
suhu dan nadi merupakan salah satu indikasi peningkatan nyeri yang dialami oleh
klien.
·
Anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi.
Rasional: teknik relaksasi dapat membuat klien
merasa sedikit nyaman dan distraksi dapat mengalihkan perhatian klien terhadap
nyeri sehingga dapat mambantu mengurangi nyeri yang dirasakan.
·
Beri posisi yang nyaman.
Rasional: posisi yang
nyaman dapat menghindarkan penekanan pada area luka/nyeri.
·
Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional: obat-obatan analgetik akan memblok
reseptor nyeri sehingga nyeri tidat dapat dipersepsikan.
2). Diagnosa II: intoleran
aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan:klien akan menunjukkan terpenuhinya
kebutuhan rawat diri.
Kriteriahasil:
Kriteriahasil:
·
Kebutuhan personal hygiene terpenuhi,
·
Klien nampak rapi dan bersih.
Intervensi:
·
Kaji kemampuan klien dalam memenuhi rawat diri.
Rasional: untuk mengetahui tingkat
kemampuan/ketergantungan klien dalam merawat diri sehingga dapat membantu klien
dalam memenuhi kebutuhan hygienenya.
·
Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Rasional: kebutuhan hygiene klien terpenuhi
tanpa membuat klien ketergantungan pada perawat.
·
Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai
kemampuannya.
Rasional: pelaksanaan aktivitas dapat membantu klien untuk mengembalikan kekuatan secara bertahap dan menambah kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya.
Rasional: pelaksanaan aktivitas dapat membantu klien untuk mengembalikan kekuatan secara bertahap dan menambah kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya.
·
Anjurkan keluarga klien untuk selalu berada di dekat
klien dan membantu memenuhi kebutuhan klien.
Rasional: membantu memenuhi kebutuhan klien
yang tidak terpenuhi secara mandiri.
3). Diagnosa
III: gangguan pola
tidur berhubungan dengan adanya nyeri.
Tujuan:klien akan mengungkapkan pola tidurnya tidak terganggu.
Tujuan:klien akan mengungkapkan pola tidurnya tidak terganggu.
Kriteria hasil:
·
Klien dapat tidur 7-8 jam per hari,
·
Konjungtiva tidak anemis.
Intervensi:
·
Kaji pola tidur.
Rasional: dengan mengetahui pola tidur klien,
akanmemudahkan dalam menentukan intervensi selanjutnya.
·
Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional: memberikan kesempatan pada klien
untuk beristirahat.
·
Anjurkan klien minum susu hangat sebelum tidur.
Rasional: susu mengandung protein yang tinggi
sehingga dapat merangsang untuk tidur.
·
Batasi jumlah penjaga klien.
Rasional: dengan jumlah penjaga klien yang
dibatasi maka kebisingan di ruangan dapat dikurangi sehingga klien dapat
beristirahat.
·
Memberlakukan jam besuk.
Rasional: memberikan kesempatan pada klien
untuk beristirahat.
·
Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat tidur
Diazepam.
Rasional: Diazepam berfungsi untuk merelaksasi otot sehingga klien dapat
tenang dan mudah tidur.
4). Diagnosa IV: gangguan rasa
nyaman: hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan:klien akan menunjukkan tidak terjadi
panas.
Kriteria hasil:
·
Tanda-tanda vital dalam batas normal,
·
Klien tidak mengalami komplikasi.
Intervensi :
·
Pantau suhu klien, perhatikan menggigil/diaphoresis.
Rasional: suhu diatas normal menunjukkan
terjadinya proses infeksi, pola demam dapat membantu diagnosa.
·
Pantau suhu lingkungan.
Rasional: suhu ruangan harus diubah atau
dipertahankan, suhu harus mendekati normal.
·
Anjurkan untuk minum air hangat dalam jumlah yang
banyak.
Rasional: minum banyak dapat membantu
menurunkan demam.
·
Berikan kompres hangat.
Rasional: kompres hangat dapat membantu penyerapan
panas sehingga dapat menurunkan suhu tubuh.
·
Kolaborasi pemberian obat antipiretik.
Rasional: digunakan untuk mengurangi demam
dengan aksi pada hipothalamus.
5). Diagnosa V: kecemasan
berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Tujuan:klien akan menunjukkan kecemasan berkurang/hilang.
Tujuan:klien akan menunjukkan kecemasan berkurang/hilang.
Kriteria hasil:
·
Ekspresi wajah tenang,
·
Klien tidak sering bertanya tentang penyakitnya.
Intervensi:
·
Kaji tingkat kecemasan klien.
Rasional: mengetahui sejauh mana kecemasan
tersebut mengganggu klien.
·
Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya.
Rasional: ungkapan perasaan dapat memberikan rasa lega sehingga mengurangi kecemasan.
Rasional: ungkapan perasaan dapat memberikan rasa lega sehingga mengurangi kecemasan.
·
Mendengarkan keluhan klien dengan empati.
Rasional: dengan mendengarkan keluahan klien
secara empati maka klien akan merasa diperhatikan.
·
Jelaskan pada klien tentang proses penyakit dan terapi
yang diberikan.
Rasional: menambah pengetahuan klien sehingga klien tahu dan mengerti tentang penyakitnya.
Rasional: menambah pengetahuan klien sehingga klien tahu dan mengerti tentang penyakitnya.
·
Beri dorongan spiritual/support.
Rasional: menciptakan ketenangan batin sehingga
kecemasan dapat berkurang.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A.
Kasus :
Ny.
S 38 tahun, seorang ibu rumah tangga, G9P0A8, masuk rumah sakit tanggal 19
September 2011 dengan keluhan merasa hamil disertai mual muntah dan perdarahan
pervaginam. Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan hasil: uterus sebesar 16
minggu, porsio tertutup, fluxus (+).
Dengan
hasil pemeriksaan laboratorium: hemopoetik: normal, SGOT 444,3 U/L. T3
1,58ng/ml, T4 > 24,86 ug/dl, TSH 0,005 mLU/L, beta hCG 772,093 IU/ml, fungsi
ginjal baik.
B.
Pengkajian
1.
Informasi umum
Nama :
Ny
S
Umur :
38
Tahun
Jenis kelamin :
Perempuan
Pekerjaan :
Ibu
rumah tangga
Tanggal masuk :
19
september 2011
Diagnosa medik :
Mola
hidatidosa
2.
Riwayat Kesehatan
a.
Keluhan utama
Klien mengatakan merasa hamil disertai mual muntah
dan pendarahan pervaginam
b.
Riwayat penyakit sekarang
Klien merasa hamil dan mual muntah, dan keluar darah pervaginam
c.
Riwayat obstetric dan gynekologi
Klien dengan G9 P0 A8. Saat ini klien berada dikehamilan yang ke 9 namun sudah 8 kali mengalami keguguran dan belum mempunyai anak.
Klien dengan G9 P0 A8. Saat ini klien berada dikehamilan yang ke 9 namun sudah 8 kali mengalami keguguran dan belum mempunyai anak.
3.
Pemeriksaan
fisik
a.
Uterus sebesar 16 minggu
b.
Forsio tertutup
c.
Fluxus ( + )
§ Hasil
pemeriksaan laboratorium :
a.
Hemopoetik : Normal
b.
SGOT :
444,3
v/l
c.
SGPT :
566,7
v/l
d.
T3 :
1,58
ng/ml
e.
T4 :
724,86
ug/dl
f.
TSH : 0,05
ml u/l
g.
ΒhCG : 772,093
IU/ml
C.
Diagnosa Keperawatan
1.
Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan mual muntah
DS : Klien mengatakan mual muntah.
DO : Nilai beta hCG tinggi yaitu
772,093 IU/ml
2.
Risiko infeksi berhubungan dengan perdarahan pervagina
yang abnormal
DS : Klien mengatakan masih mengeluarkan darah pervagina
DS : Klien mengatakan masih mengeluarkan darah pervagina
Do :
·
Terdapat perdarahan pervagina yang abnormal
·
TSH : 0,05
VTV/ml
3. Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman dan tidak mengenal sumber
informasi
DS : Klien mengatakan ia merasa hamil
DS : Klien mengatakan ia merasa hamil
DO :
·
Uterus sebesar 16 minggu
·
porsio tertutup
·
fluxus (+).
D.
Intervensi
1. Resiko
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah
a.
Tujuan : klien akan mengungkapkan nutrisi terpenuhi
b.
Kriteria hasil :
·
Nafsu makan meningkat
·
Porsi makan dihabiskan
·
Mual muntah teratasi
c.
Intervensi
·
Kaji status nutrisi klien
Rasional :
sebagai awal menetapkan langlah selanjutnya
·
Anjurkan makan sedikit demi sedikit tapi sering.
Rasional :
makan demi sedikit mampu membantu meminimalkan anoreksia.
·
Anjurkan makan-makanan dalam keadaan hangat dan
bervariasi
Rasional :
makanan yang hangat dan bervariasi dapat membangkitkan nafsu makanan klien.
·
Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional :
mengevaluasi kefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
·
Tingkatkan kenyaman lingkungan termasuk sosialisasi
saat makan dan anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai
klien.
Rasional : sosialisasi
waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatkan pemasukan dan
menormalkan fungsi makanan.
2.
Risiko infeksi berhubungan dengan perdarahan pervagina
yang abnormal
a.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2 x 24 jam infeksi tidak terjadi
b.
Kriteria hasil :
·
Tidak ada tanda-tanda infeksi (dolor, color, rubor,
tumor dan fungsi leasa)
·
Tanda-tanda
vital dalam batas normal
c.
Intervensi :
·
Catat suhu, jumlah bau dan warna darah pervagina
Rasional : kehilangan darah berlebihan dengan penurunan haemoglobin meningkatkan risiko klien untuk terkena infeksi.
Rasional : kehilangan darah berlebihan dengan penurunan haemoglobin meningkatkan risiko klien untuk terkena infeksi.
·
Pantau respon merugikan pada pemberian produk darah
Rasional : pengenalan dan intervensi dini dapat mencegah situasi yang mengancam hidup.
Rasional : pengenalan dan intervensi dini dapat mencegah situasi yang mengancam hidup.
·
Berikan informasi tentang risiko penerimaan produk
darah
Rasional : komplikasi seperti hepatitis dan (HIV / AIDS) dapat tidak bermanfestasi selama perawatan di rumah sakit.
Rasional : komplikasi seperti hepatitis dan (HIV / AIDS) dapat tidak bermanfestasi selama perawatan di rumah sakit.
·
Anjurkan ganti pembalut bila basah atau habis BAK
Rasional : basah merupakan media kuman untuk berkembang
Rasional : basah merupakan media kuman untuk berkembang
·
Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional : untuk mencegah dan meminimalkan infeksi.
Rasional : untuk mencegah dan meminimalkan infeksi.
3.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman
dan tidak mengenal sumber informasi
a.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1 x 24 jam diharapkan klien mengerti / paham tentang penyakitnya.
b.
Kriteria hasil :
·
Klien tampak rileks
·
Klien dapat
mengungkapkan tentang penyakitnya dalam istilah sederhana sesuai dengan situasi
klinis.
·
Tanda-tanda
vital dalam batas normal
c.
Intervensi :
·
Jelaskan tindakan dan rasional yang ditentukan untuk
kondisi hemoragic
Rasional : memberi informasi, Memperjelas kesalahan konsep dan membantu menurunkan stress yang berhubungan.
Rasional : memberi informasi, Memperjelas kesalahan konsep dan membantu menurunkan stress yang berhubungan.
·
Kaji ulang
pengetahuan pasien tentang pengetahuan
Rasional : untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
Rasional : untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
·
Motivasi pasien
untuk menerima keadaannya
Rasional : untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
Rasional : untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
·
Motivasi pasien
untuk menerima keadaannya
Rasional : penerimaan tentang keadaan dapat mengurangi stress psikologisnya.
Rasional : penerimaan tentang keadaan dapat mengurangi stress psikologisnya.
·
Libatkan keluarga
untuk memberi dukungan moril maupun spiritual pada klien.
Rasional : memberi support membantu untuk pemulihan kesembuhan pasien.
Rasional : memberi support membantu untuk pemulihan kesembuhan pasien.
BAB IV
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan yang
ditemukan pada kasus Ny. S dengan
kehamilan Mola hidatidosa pada tanggal
19 September 2011 dimana dalam memberikan asuhan keperawatan penulis
menggunakan pendekatan proses keperawatan, intervensi, implementasi dan
evaluasi. Masalah keperawatan yang muncul adalah : resiko kekurangan nutrisi, resiko infeksi, dan kurang pengetahuan.
1.
Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan mual muntah
Menurut
Rock CL (2004), nutrisi adalah proses dimana tubuh manusia menggunakan makanan
untuk membentuk energi, mempertahankankesehatan, pertumbuhan dan untuk
berlangsungnya fungsi normalsetiap organ baik antara asupan nutrisi dengan
kebutuhan nutrisi.
Asupan nutrisi pada ibu hamil saat trimester pertama harus
termasuk keseimbangan porsi nutrisi esensial dengan penekanan pada kualitas.
Asupan protein selama kehamilan ditingkatkan hingga 60 g. Ibu yang berisiko
tinggi disarankan untuk melipat gandakan asupan protein yang normal. Asupan
kalsium harus ditingkatkan hingga 1200 mg/hari. Kalsium diperlukan untuk
perkembangan gigi dan tulang, kontraksi otot, dan penggumpalan darah janin. Ibu yang mengalami penurunan asupan nutrisi terutama
protein dapat menimbulkan gejala patologis pada janin. Gejala patologis
biasanya berupa mual muntah yang berlebihan, perdarahan pervagina.Mual muntah
pada ibu hamil dapat menimbulkan resiko kekurangan nutrisi yang bisa
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin.
Mual muntah yang berlebihan disebabkan pembesaran uterus yang abnormal
lebih dari pembesaran uterus saat kehamilan normal sehingga menyebabkan
distensi abdomen. Biasanya pembesaran yang menunjukkan gejala patologis saat
ibu hamil berada pada trimester 1.
Selain itu, produksi hCG yanng
meningkat dapat menyebabkan mual muntah.
2.
Risiko infeksi berhubungan dengan perdarahan pervagina
yang abnormal
Risiko terhadap infeksi adalah suatu
kondisi dimana individu beresiko terkena agen oportunis atau patogenesis
(virus, jamur, bakteri, protozoa dan parasit lain) dari berbagai sumber dari
dalam atau dari luar tubuh (Lynda Juall C, 1997). Faktor yang berhubungan
dengan risiko infeksi adalah sebagai masalah atau
kondisi kesehatan yang dapat meningkatkan berkembangnya infeksi (Lynda Juall C,
1997). Menurut Marilyn E. Doengoes (1999) faktor infeksi meliputi pertahanan
sekunder tidak adekuat misal : penurunan haemoglobin, leucopenia atau penurunan
granulosit (respon inflamasi tutukan).
Diagnosa ini penulis rumuskan karena
penulis menemukan adanya data : ada perdarahan pervagina yang abnormal, Hb : 11,20 gr%, leukosit : 8,50
ribu/mmk, S : 37 oC, TSH < 0,05 vtv/ml. Dari data tersebut sudah
dapat diangkat diagnosa risiko tinggi infeksi berhubungan dengan pengeluaran
darah pervagina yang abnormal. Apabila masalah ini tidak diatasi maka akan
terjadi infeksi pada kandungannya apabila tidak segera dikeluarkan.
Diagnosa risiko infeksi penulis prioritaskan pada masalah keperawatan kedua karena merupakan keadaan yang kemungkinan bisa muncul dan menjadi suatu permasalahan dan apabila hal ini tidak dicegah maka risiko dapat menjadi aktual.
Diagnosa risiko infeksi penulis prioritaskan pada masalah keperawatan kedua karena merupakan keadaan yang kemungkinan bisa muncul dan menjadi suatu permasalahan dan apabila hal ini tidak dicegah maka risiko dapat menjadi aktual.
Selanjutnya untuk mengatasi masalah
tersebut penulis membuat perencanaan dengan tujuan agar infeksi tidak terjadi
dalam jangka waktu 2 x 24 jam dengan kriteria hasil tanda-tanda infeksi tidak
ada (dolor, color, rubor, tumor dan fungtio leasa), tanda-tanda vital dalam
batas normal. Adapun perencanaan yang telah penulis buat adalah : catat suhu,
catat jumlah bau, warna darah pervagina rasional kehilangan darah berlebihan
dengan penurunan hemoglobin, meningkatkan risiko klien untuk terkena infeksi,
pantau respon merugikan pada pemberian produk darah. Rasional : pengenalan dan
intervensi dini dapat mencegah situasi yang mengancam hidup, berikan informasi
tentang risiko penerimaan produk darah, rasional : komplikasi seperti hepatitis
dan (HIV / AIDS) dapat tidak bermanifestasi selama perawatan di rumah sakit,
Kolaborasi pemberian antibiotik rasional : untuk mencegah infeksi dan
meminimalkan infeksi, anjurkan ganti pembalut bila basah habis BAK, karena
basah merupakan media kuman untuk berkembang.
3.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman
dan tidak mengenal sumber informasi
Kurangnya
pengetahuan adalah : suatu keadaan dimana seorang individu atau kelompok
mengalami defisiensi pengetahuan kognitif atau ketrampilan psikomotorik
berkenaan dengan kondisi atau rencana pengobatan (Lynda Juall C,1997).
Batasan
karakteristik mayor : mengungkapkan kurang pengetahuan atau
keterampilan-keterampilan / permintaan informasi, mengeskpresikan suatu
ketidakakuratan persepsi status kesehatan, melakukan dengan tidak tepat
perilaku kesehatan dengan dianjurkan atau diinginan.
Batasan karakteristik minor : kurang integritas tentang rencana pengobatan ke dalam aktifitas sehari-hari, memperlihatkana atau mengekspresikan perubahan psikologis (misalnya anietas, depresi) mengakibatkan kesalahan informasi atau kuranginformasi.
Batasan karakteristik minor : kurang integritas tentang rencana pengobatan ke dalam aktifitas sehari-hari, memperlihatkana atau mengekspresikan perubahan psikologis (misalnya anietas, depresi) mengakibatkan kesalahan informasi atau kuranginformasi.
Diagnasa
kurangnya pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi
tentang penyait dan penatalaksanannya penulis tegakkan dengan problem kurangnya
pengetahuan pasien tentang penyakit dan penatalaksanannya karena pada saat
pengkajian ditemukan data : klien mengatakan belum tahu tentang penyakit yang
dideritanya saat ini.
Diagnosa kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman dan tidak mengenal sumber informasi, penulis tetapkan sebagai prioritas ketiga sesuai teori “triage konsep”, dimana kurang pengetahuan merupakan masalah yang berkembang lambat dan dapat ditolerir pasien. Walaupun ditemukan masalah masalah ini harus diatasi dan perlu tindakan yang tepat apabila pasien tidak tahu tentang penyakitnya.
Diagnosa kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman dan tidak mengenal sumber informasi, penulis tetapkan sebagai prioritas ketiga sesuai teori “triage konsep”, dimana kurang pengetahuan merupakan masalah yang berkembang lambat dan dapat ditolerir pasien. Walaupun ditemukan masalah masalah ini harus diatasi dan perlu tindakan yang tepat apabila pasien tidak tahu tentang penyakitnya.
Untuk
mengatasi masalah kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman dan
tidak mengenal sumber informasi penulis menetapkan intervensi : jelaskan
tindakan dan rasional yang ditentukan unduk kondisi haemoradi (curettage)
rasional : memberikan informasi dapat memperjelas kesalahan konsep dan dapat
membantu menurunkan stress yang berhubungan, beri kesempatan bagi pasien untuk
mengajukan pertanyaan rasional : memberikan klarifikasi dari konsep yang salah
dari kesempatan untuk mengembangkan keterampilan koping, kaji ulang pengetahuan
pasien tentang pengetahuan rasional : untuk mengetahui seberapa jauh
pengetahuan pasien tentang penyakitnya. Motivasi pasien untuk menerima
keadaannya rasional : penerimaan tentang keadaan dapat mengurangi stress
pskologisnya, libatkan keluarga untuk memberi dukungan moril maupun spiritual
pada pasien rasional : memberikan support membantu untuk pemulihan kesembuhan
pasien.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada wanita yang mengalami Mola hidatidosa sering
mengalami mual muntah akibat produksi
Hcg yang tinggi. Produksi ini meningkat disebabkan pembesaran uterus
yang abnormal lebih besar daripada pembesaran uterus biasanya. Sehingga
menyebabkan distensi rahim yang bisa menyebabkan mual muntah pada penderita
Mola hidatidosa. Selain itu perdarahan yang abnormal saat usia kehamilan masih
muda, dapat menyebabkan resiko tinggi infeksi. Resiko infeksi harus segera
diatasi untuk menghindari gejala infeksi yaang dapat membahayakan bagi
keselamatan wanita tersebut. Perlu pengetahuan ibu tentang beberapa gejala
penyakit yang dapat menyerang ibu hamil saat berada pada usia kehamilannya yang
masih baru tau berada pada Trimester 1.
B. Saran
Penulis memberikan saran untuk ibu yang sedang hamil agar
intensif dalam melakukan pemeriksaan
kandungannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak adanya gejala
patologis yang sering terjadi saat sedang mengandung. Apabila terjadi gejala
patologis, ibu harus cepat melaporkan kepada pelaku medis agar tidak terjadi
komplikasi lain pada kandungannya. Pelaku medis khususnya perawat harus memiliki sikap profesionalisme dalam
bekerja dan mampu melakukan asuhan keperawatan secara tepat kepada ibu yang terdeteksi adanya kelainan seperti
penderita Mola hidatidosa.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, dkk. 2005. Kapita
Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesbulapius Fakultas UI.
Wiknjosartro, Hanifa. 2005. Ilmu
Kandungan. Jakarta : Yaysan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sastrawinata, Sulaiman. 2004. Ilmu
Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta : EGC.
Underwood, J.CE. 1999. Patologi Umum
dan Sistematik Edisi 2 Volume 2. Jakarta: EGC
No comments:
Post a Comment